Al-Zastrouw
Dosen Pasca Sarjana Unusia, Penggiat seni
tradisi dan budaya Nusantara
Meski izin ormas HTI sudah
dicabut, yang berarti HTI sudah menjadi organisasi ilegal, namun bukan berarti
ancaman terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara berakhir.
Sebaliknya gerakan kaum puritan fundamentalis untuk merongrong ideologi negara
semakin ofensif dengan pola yang terstruktur, sistematis dan massif.
Gerakan ofensif mereka terlihat
jelas di medsos, aktivitas pengajian, forum diskusi hingga mimbar masjid yang
terus dijadikan tempat menawarkan faham khilafah. Mereka bahkan membuat
berbagai kelompok dengan nama-nama baru dengan tujuan yang sama; menegakkan
khilafah. Di antaranya "Komunitas Royatul Islam (Karim), Gema Pembebasan
dan BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus) dan lain-lain.
Mereka juga mulai membungkus isu
khilafah ini dalam berbagai isu yang memukau umat awam seperti isu anti China,
pemerintah bohong, pemilu curang dan sejenisnya yang kesemuanya ditujukan untuk
mendelegitimasi pemerintah dan lembaga negara. Isu-isu tersebut terus
dibesar-besarkan untuk destabilisasi situasi untuk menunjukkan kegagalan dan
kelemahan sistem demokrasi supaya bisa menyebarkan paham khilafah sebagai alternatif.
Selain isu-isu yang
mendiskriditkan pemerintah dan lembaga negara, mereka juga membungkus gerakan
mereka dengan simbol-simbol agama untuk menarik publik, di antaranya isu NKRI
bersyariah, umat Islam terancam, gerakan.pemurtadan dan sebagainya. Melalui isu
ini banyak umat Islam yang tertarik. Akibatnya banyak umat Islam yang kemudian
terjebak pada gerakan politik Islam yang simbolik formal ala HTI dan
mengabaikan Pancasila sebagai hasil kesepakatan para ulama yang sarat dengan
nilai dan ajaran Islam.
Berdasarkan hasil penelitian LSI,
gerakan NKRI bersyariah, memiliki kecenderungan yang terus naik. Pada tahun
2005 kelompok ini masih berada pada angka 4,6 persen, tahun 2010 naik menjadi
7,3 persen, kemudian tahun 2016 naik menjadi 9,8 persen dan pada tahun 2018
naik lagi menjadi 13,2 persen. Angka-angka ini menujukkan bahwa gerakan
merorong Pancasila dan NKRI ini terus meningkat. Hasil penelitian Wahid
Institut, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UNUSIA Jakarta menunjukkan
kecenderungan yang sama.
Angka-angka di atas terkonfirmasi
dengan maraknya gerakan kelompok Islamis yang menolak keberagaman atas nama
agama. Tindakan mereka makin vulgar dan kasar, seperti terlihat pada pelarangan
upacara adat di beberapa daerah (Purwakarta, Cilacap, Banyuwangi dan
sebagainya), penolakan terhadap ritual agama lokal (Sunda Wiwitan dan
lain-lain), persekusi terhadap umat Syiah dan Ahmadiyah, pelarangan pelaksanaan
ibadah umat lain yang berbeda.
Tindakan seperti ini tidak saja
mengancam kebinekaan yang menjadi nilai dasar dalam Pancasila, tetapi juga bisa
menghancurkan tradisi dan budaya bangsa yang bisa mengarah pada terjadinya
defisit tradisi dan kebangkrutan budaya. Dan ini artinya gerakan kaum radikal
intoleran HTI tidak saja mengancam Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
tetapi juga menghancurkan konstruksi budaya dan tradisi bangsa Indonesia,
termasuk tradisi dan budaya yang sesuai dengan ajaran Islam.
Apa yang terjadi membuktikan
bahwa gerakan politik HTI dan gerakan radikal-intoleran merupakan ancaman nyata
terhadap ideologi negara dan eksistensi bangsa Indonesia. Artinya menangkal
gerakan kaum radikal intoleran HTI menjadi agenda yang mendasari terjadinya
rekonsiliasi antar tokoh di negeri ini. Dengan demikian penguatan Pancasila
menjadi sesuatu yang tidak boleh ditawar, jika bangsa ini mau tetap eksis dan
kokoh.
Jika rekonsiliasi hanya berdasar
kepentingan pragmatis politik, saling bertukar kepentingan jangka pendek demi
mengamankan kepentingan masing-masing kelompok, maka bangsa ini akan rapuh,
karena rekonsiliasi yang hanya berdasar kepentingan pragmatis politik sama saja
dengan membuka pintu bagi golongan radikal-intoleran HTI untuk terus
menggerogoti bangsa ini dengan topeng agamanya yang terlihat menawan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!